ANAKMU
BUKANLAH ANAKMU:
Sebuah Upaya
Membangun Paradigma Baru Pendidikan Anak*
John Locke (1632-1704) bilang, anak yang baru lahir
bagaikan kertas putih bersih. Tergantung orang tua dan lingkungannya mau
menuliskan apa dan warna apa. Teori ini terkenal sebagai teori ‘tabularasa’.
Kederangannya tepat dan mudah difahami. Tapi kalau dipikirkan dalam-dalam,
bukankah itu artinya menempatkan anak sebagai ‘korban’ dari orang tua dan
lingkungannya? Anak dengan serta-merta kehilangan kebebasannya untuk
berkehendak (free will) serta kebebasannya untuk memilih (free choice).
Padahal kedua senjata pamungkas inilah yang membedakan manusia dari hewan;
yakni bahwa dalam diri manusia ada alat yang luar biasa canggihnya yang
memungkinkan kedua senjata tersebut bekerja secara efektif. Alat itu bernama
AKAL.
Keabsahan teori ini bisa diuji melalui beberapa poin
penting berikut: Pertama, setiap anak seharusnya merupakan foto kopi
dari mental, pengetahuan dan pilihan-pilihan orang tuanya. Tapi faktanya—dalam
kehidupan sehari-hari—kelihatannya tidak selamanya seperti itu. Banyak anak
yang menyimpang dari harapan dan cita-cita orang tuanya. Bahkan hanya kurang
lebih 25 persen sarjana yang bekerja sesuai disiplin ilmunya.
Kedua, seandainya
pendapat Locke—yang dituangkannya dalam buku “Thoughts on Education”
(1693)—benar maka seharusnya kejahatan semakin lama semakin habis. Aatau,
paling tidak, secara rata-rata persentasenya kian lama kian menurun. Sebab
bukankah tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya menjadi amoral dan pelaku
kriminal? Tapi kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Runtuhnya
bangsa-bangsa besar yang pernah menorah sejarah dengan tinta emas menjadi bukti
yang tak terbantahkan mengenai kebenran teori itu. Bukankah bangsa-bangsa itu
hancur setelah mengalami degradasi moral dan dehumanisasi berkepanjangan.
Ketiga, seharusnya tidak
ada nabi yang anak-anaknya menjadi pendurhaka. Karena pasti tidak ada
kesangsian sedikitpun tentang kepiawaian para nabi dan rasul tersebut dalam
mendidik anak-anaknya. Mereka bahkan piawai dalam mendidik masyarakat. Sebab
kemampuan mereka berada di bawah bimbingan langsung Tuhan. Sayangnya, bukti
kongkritnya tidak seperti itu. Anak Nabi Nuh amat jauh dari risalah orang
tuanya. Begitu juga salah seorang dari anak nabi Adam, yang bahkan tega
membunuh saudara kandungnya sendiri. Padahal anak-naka nabi itu pasti
menyaksikan bagaimana wahyu turun dan dipraktekkan langsung oleh orang tua
mereka. Mereka dibesarkan dalam kentalnya aroma wahyu ilahi.
Sebaliknya, Nabi Ibrahim dibesarkan dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat penyembah berhala. Nabi Muhammad tumbuh dewasa dalam
kepungan orang-orang yang siang malam menghambakan diri kepada 360 patung tak
bermakna.
Itu dalam sejarah, yang terbilang jauh dari zaman kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti lebih akrab lagi dengan
kejadian-kejadian seperti itu. Di depan mata kita, ada Feri Afandi, anak tukang
becak di sebuah desa yang cukup jauh dari kota Medan, yang karena ketekunan dan
kegigihannya berhasil menjuarai AFI (Akademi Fantasi Indosiar) 2004. Itu adalah
prestasi yang prestisius yang tak pernah dibayangkan oleh kedua orang tuanya,
apalagi mendidiknya kea rah itu. Menurut teori ‘tabularasa’, Feri tidak mungkin
menjadi penyanyi seperti itu sebab di keluarganya tak seorang pun yang pernah
menjadi penyanyi—bahkan menjadi penyanyi di kamar mandi sekalipun.. Lalu
darimanakah dia mendapatkan kemampuan spektakuler itu?
Teori John Locke tersebut memang tidak bisa disalahkan
sepenuhnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa pendapatnya itu sesuai dengan
aliran filsafat yang dianutnya. Filosof berkebangsaan Inggris ini adalah salah
seorang tokoh terkemuka filsafat empirisme. Yaitu jenis filsafat yang percaya
sepenuhnya bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari satu sumber saja, yakni
alam benda yang masuk melalui panca indra manusia.
Banyak fakta yang bisa kita tunjuk di sekitar kita yang
menunjukkan kekeliruan teori ‘tabularasa’ ini. Misalnya, kenapa orang yang
tidak pernah sekolah bisa menghitung, bahkan mungkin lebih lancar dari orang
sekolahan? Kenapa setiap orang menanyakan ‘sebab’ bila mendengar sebuah berita,
walaupun mereka tidak pernah belajar mengenai hukum sebab-akibat? Kenapa semua
orang percaya kalau suatu benda tidak mungkin berada di dua tempat yang berbeda
pada saat yang sama?
Semua itu menunjukkan bahwa manusia telah membawa
dasar-dasar pengetahuan saat lahirnya. Dengan kata lain, mereka tidak lahir
dalam keadaan ‘kertas kosong’. Paling tidak, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan
tadi, manusia telah membawa tiga hokum sebagai dasar pengetahuan dalam dirinya
sejak lahir. Ketiga hukum tersebut ialah: hukum matematis, hukum
sebab-akibat, dan hukum nonkontradiktif. Tanpa ketiga hokum ini maka
semua pelajaran yang disuguhkan kepada manusia menjadi tidak akan terfahamkan
dalam dirinya.
Dengan demikian penjelasan yang paling tepat menerangkan
itu semua bukanlah ‘teori tabularasa’ melainkan ‘teori asmara’.
Lalu apa yang dimaksud ‘teori asmara’? Asmara hanya akan tercipta kalau ada dua
cinta yang saling berbalasan. Asmara tidak akan ada kalau cinta hanya bertepuk
sebelah tangan. Pendidikan hanya akan berjalan kalau bertemu factor dasar dan
factor ajar. Faktor dasar memuat ketiga hokum bawaan tadi, sementara
factor ajar memuat seluruh jenis pengetahuan empiris beserta kurikulum,
sistematika dan metodologinya.
Maka kalau ingin mendidik anak dengan baik, baik orang
tua maupun guru, mutlak harus memperhatikan ketiga factor dasar tersebut.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berangkat dari eksplorasi dan
eksploitasi terhadap ketiga hokum bawaan tadi. Sayangnya, pendidikan kita
selama ini baru memperhatikan prinsip matematikanya; itupun dengan metodologi
yang memprihatinkan. Dua prinsif lainnya (sebab-akibat dan nonkontradiktif)
sama sekali belum tersentuh, terutama pada tingkat pendidikan paling dasar (TK
dan SD).
Akibatnya, kualitas pengetahuan yang diperoleh anak didik
juga sangat memprihatinkan. Kemampuan kreatif dan kompetitifnya sangat kurang.
Luaran pendidikan hanya berkutat pada symbol-simbol legal-formal belaka saja.
Yang terkejar hanya kuantitasnya seraya meninggalkan kualitasnya. Model
pembelajaran seperti inilah yang pernah dikritik tajam oleh DR. Ivan Illich
dalam buku De-schooling Society-nya sebagai hanya melahirkan
manusia-manusia yang tak banyak gunanya dalam meningkatkan kualitas masyarakat
secara keseluruhan.
Kita di Indonesia tidak sulit memahami maksud Ivan Illich
tersebut. Sebab untuk kesekian kalinya kita menjadi Negara terkorup di Asia
dengan indeks kepala sembilan (sembilan koma sekian)—yang artinya korupsinya
sudah mendekati sempurna. Padahal semua lini tentu diurusi oleh orang-orang
yang pernah mengenyam dunia pendidikan. Bahkan, hebatnya lagi, departemen yang
paling korup justru Departemen Agama dan Departemen Pendidikan.
Andaikata ketiga hokum bawaan tersebut dieksplorasi dan
dieksploitasi dengan baik, niscaya Indonseia tidak sememalukan itu keadaannya.
Karena eksplorasi dan eksplotasi ketiga hokum tersebut berdampak langsung pada
tiga kecerdasan sekaligus. Prinsip sebab-akibat bermuara pada kecerdasar
spiritual; prinsip matematis bermuara pada kecerdasan intelektual; dan prinsip
nonkontradiktif bermuara pada kecerdasan emosional.
Setelah memahami hokum-hukum bawaan tadi, tindakan
selanjutnya adalah memahami bakat anak-anak. Ini tentu juga bersifat bawaan.
Bakat sendiri artinya potensi bawaan. Sejak masa paling dini, orang tua dan
guru harus memperhatikan dengan saksama bakat yang melekat pada seorang anak.
Ketahuilah, tidak anak yang lahir tanpa membawa bakatnya. Cuma memang ada bakat
yang cepat dikenali, ada bakat yang terpendam dan membutuhkan waktu yang lama
untuk mengenalinya.
Bakat bisa dikatakan sebagai kombinasi antara potensi
biologis dan potensi psikologis. Itu sebabnya orang akan lebih mudah berhasil
mencapai puncak kesuksesan kalau bekerja sesuai dengan bakat yang dimilikinya.
Penjelasannya: orang yang bekerja sesuai bakatnya tidak akan menemukan hambatan
psikologis dan biologis dalam melakoni aktivitasnya. Bahkan mereka akan merasa enjoy
(senang) menggeluti bidang pekerjaannya, betapapun padatnya waktu
pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Banyaknya sarjana yang tidak bekerja sesuai dengan
disiplin ilmunya bisa diterangkan dengan pendekatan bakat ini. Yaitu bahwa
ketika mereka memilih jurusan atau fakultas, mereka sama sekali tidak
memperhatikan bakat yang dimilikinya. Mereka, biasanya, hanya termotivasi oleh
gengsi dan popularitas jurusan tersebut. Itu karana, selama mereka belajar dari
TK, SD, SLTP hingga SLTA—kurang lebih 14 (empatbelas) tahun—pendidikan yang
digelutinya tidak berhasil mengenalkannya pada bakat mereka.
Setelah bakat, pendidikan juga harus membantu peserta
didik untuk mengenali dan mengakrabi jenis kejiwaannya. Secara psikologis,
manusia dibagi ke dalam tiga jenis kejiwaan: ekstrovert (berorientasi keluar
dan terbuka); introvert (berorientasi kedalam dan tertutup); dan ambivert
(bersikap netral dan agak terbuka agak tertutup).
Orang yang ekstrovert biasanya cocok memilih
profesi-profesi yang berhubungan dengan banyak orang, semisal pengacara, sales,
PR (public relation), presenter, anggota legislative, dan semacamnya. Orang
yang introvert umumnya tidak mengalami hambatan dalam menggeluti
pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan perenungan, kontemplasi, kreativitas
tinggi, atau hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah spiritual; umpamanya:
agamawan, seniman, arsitek, ilmuwan, penulis, dan semacamnya.
Sementara orang yang ambivert bisa melakukan
kegiatan-kegiatan yang berada di antara keduanya, misalnya: dokter, pebisnis,
tentara, polisi, birokrat, karyawan, dan semacamnya.
Seringnya seseorang merasa tidak puas dengan pekerjaan
yang digelutinya bisa ditemukan akar masalahnya dari sini. Orang yang introvert
lalu ditugaskan mempromosikan atau menjajakan sebuah produk, akan menemukan
hambatan kejiwaan yang besar. Sebelum ‘berperang’ dengan calon konsumennya,
terlebih dahulu harus berperang dengan dirinya sendiri. Begitu juga seseorang
yang berjiwa ekstrovert lalu dipaksa bekerja di belakang meja secara rutin,
sudah pasti akan merasakan siksaan yang amat berat. Kantor baginya bukanlah
tempat yang menyenangkan, melainkan bisa terasa seperti neraka. Kalau toh
dipaksakan, hasilnya tidak akan maksimal.
Kalau semuanya sudah berhasil diidentifikasi, tugas orang
tua dan guru selanjutnya adalah mengkondisikan dan memfasilitasi tersalurkannya
free will dan free choice seorang anak atau peserta didik.
Serahkan semuanya kepada anak-anak. Jangan bebani mereka
dengan pilihan-pilihan yang didiktekan oleh guru atau orang tua. Termasuk
pilihan yang didiktekan secara tersamar, misalnnya memperlihatkan raut muka
tidak senang jika anak memilih pilihan yang bertentangan dengan pilihan guru
atau orang tua. Sebab sikap seperti itu membebani mental si anak. Umumnya
anak-anak tidak berani mengatakan ‘tidak’ kepada pilihan orang tua atau
gurunya.
Agar ketegangan guru/orang tua versus anak tidak terjadi,
camkanlah kata-kata Kahlil Ghibran berikut ini: anakmu bukanlah anakmu; kamu
bisa memiliki fisiknya tapi kamu tidak bisa memiliki pikirannya.
Menurut Ghibran, guru dan orang tua tidak menuliskan apa
dan warna apa pada ‘kertas kosong’ anak, melainkan mengkondisikan dan
memfasilitasi anak untuk menuliskan penanya sendiri.***
Oleh
Muhammad Rusli Malik**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar