Senin, 28 Januari 2013

ANAKMU BUKANLAH ANAKMU: Sebuah Upaya Membangun Paradigma Baru Pendidikan Anak

ANAKMU BUKANLAH ANAKMU:
Sebuah Upaya Membangun Paradigma Baru Pendidikan Anak*


John Locke (1632-1704) bilang, anak yang  baru lahir bagaikan kertas putih bersih. Tergantung orang tua dan lingkungannya mau menuliskan apa dan warna apa. Teori ini terkenal sebagai teori ‘tabularasa’. Kederangannya tepat dan mudah difahami. Tapi kalau dipikirkan dalam-dalam, bukankah itu artinya menempatkan anak sebagai ‘korban’ dari orang tua dan lingkungannya? Anak dengan serta-merta kehilangan kebebasannya untuk berkehendak (free will) serta kebebasannya untuk memilih (free choice). Padahal kedua senjata pamungkas inilah yang membedakan manusia dari hewan; yakni bahwa dalam diri manusia ada alat yang luar biasa canggihnya yang memungkinkan kedua senjata tersebut bekerja secara efektif. Alat itu bernama AKAL.
Keabsahan teori ini bisa diuji melalui beberapa poin penting berikut: Pertama, setiap anak seharusnya merupakan foto kopi dari mental, pengetahuan dan pilihan-pilihan orang tuanya. Tapi faktanya—dalam kehidupan sehari-hari—kelihatannya tidak selamanya seperti itu. Banyak anak yang menyimpang dari harapan dan cita-cita orang tuanya. Bahkan hanya kurang lebih 25 persen sarjana yang bekerja sesuai disiplin ilmunya.
Kedua, seandainya pendapat Locke—yang dituangkannya dalam buku “Thoughts on Education” (1693)—benar maka seharusnya kejahatan semakin lama semakin habis. Aatau, paling tidak, secara rata-rata persentasenya kian lama kian menurun. Sebab bukankah tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya menjadi amoral dan pelaku kriminal? Tapi kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Runtuhnya bangsa-bangsa besar yang pernah menorah sejarah dengan tinta emas menjadi bukti yang tak terbantahkan mengenai kebenran teori itu. Bukankah bangsa-bangsa itu hancur setelah mengalami degradasi moral dan dehumanisasi berkepanjangan.
Ketiga, seharusnya tidak ada nabi yang anak-anaknya menjadi pendurhaka. Karena pasti tidak ada kesangsian sedikitpun tentang kepiawaian para nabi dan rasul tersebut dalam mendidik anak-anaknya. Mereka bahkan piawai dalam mendidik masyarakat. Sebab kemampuan mereka berada di bawah bimbingan langsung Tuhan. Sayangnya, bukti kongkritnya tidak seperti itu. Anak Nabi Nuh amat jauh dari risalah orang tuanya. Begitu juga salah seorang dari anak nabi Adam, yang bahkan tega membunuh saudara kandungnya sendiri. Padahal anak-naka nabi itu pasti menyaksikan bagaimana wahyu turun dan dipraktekkan langsung oleh orang tua mereka. Mereka dibesarkan dalam kentalnya aroma wahyu ilahi.
Sebaliknya, Nabi Ibrahim dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat penyembah berhala. Nabi Muhammad tumbuh dewasa dalam kepungan orang-orang yang siang malam menghambakan diri kepada 360 patung tak bermakna.
Itu dalam sejarah, yang terbilang jauh dari zaman kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti lebih akrab lagi dengan kejadian-kejadian seperti itu. Di depan mata kita, ada Feri Afandi, anak tukang becak di sebuah desa yang cukup jauh dari kota Medan, yang karena ketekunan dan kegigihannya berhasil menjuarai AFI (Akademi Fantasi Indosiar) 2004. Itu adalah prestasi yang prestisius yang tak pernah dibayangkan oleh kedua orang tuanya, apalagi mendidiknya kea rah itu. Menurut teori ‘tabularasa’, Feri tidak mungkin menjadi penyanyi seperti itu sebab di keluarganya tak seorang pun yang pernah menjadi penyanyi—bahkan menjadi penyanyi di kamar mandi sekalipun.. Lalu darimanakah dia mendapatkan kemampuan spektakuler itu?

TEORI ‘ASMARA’
Teori John Locke tersebut memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa pendapatnya itu sesuai dengan aliran filsafat yang dianutnya. Filosof berkebangsaan Inggris ini adalah salah seorang tokoh terkemuka filsafat empirisme. Yaitu jenis filsafat yang percaya sepenuhnya bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari satu sumber saja, yakni alam benda yang masuk melalui panca indra manusia.
Banyak fakta yang bisa kita tunjuk di sekitar kita yang menunjukkan kekeliruan teori ‘tabularasa’ ini. Misalnya, kenapa orang yang tidak pernah sekolah bisa menghitung, bahkan mungkin lebih lancar dari orang sekolahan? Kenapa setiap orang menanyakan ‘sebab’ bila mendengar sebuah berita, walaupun mereka tidak pernah belajar mengenai hukum sebab-akibat? Kenapa semua orang percaya kalau suatu benda tidak mungkin berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama?
Semua itu menunjukkan bahwa manusia telah membawa dasar-dasar pengetahuan saat lahirnya. Dengan kata lain, mereka tidak lahir dalam keadaan ‘kertas kosong’. Paling tidak, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tadi, manusia telah membawa tiga hokum sebagai dasar pengetahuan dalam dirinya sejak lahir. Ketiga hukum tersebut ialah: hukum matematis, hukum sebab-akibat, dan hukum nonkontradiktif. Tanpa ketiga hokum ini maka semua pelajaran yang disuguhkan kepada manusia menjadi tidak akan terfahamkan dalam dirinya.
Dengan demikian penjelasan yang paling tepat menerangkan itu semua bukanlah ‘teori tabularasa’ melainkan ‘teori asmara’. Lalu apa yang dimaksud ‘teori asmara’? Asmara hanya akan tercipta kalau ada dua cinta yang saling berbalasan. Asmara tidak akan ada kalau cinta hanya bertepuk sebelah tangan. Pendidikan hanya akan berjalan kalau bertemu factor dasar dan factor ajar. Faktor dasar memuat ketiga hokum bawaan tadi, sementara factor ajar memuat seluruh jenis pengetahuan empiris beserta kurikulum, sistematika dan metodologinya.
Maka kalau ingin mendidik anak dengan baik, baik orang tua maupun guru, mutlak harus memperhatikan ketiga factor dasar tersebut. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berangkat dari eksplorasi dan eksploitasi terhadap ketiga hokum bawaan tadi. Sayangnya, pendidikan kita selama ini baru memperhatikan prinsip matematikanya; itupun dengan metodologi yang memprihatinkan. Dua prinsif lainnya (sebab-akibat dan nonkontradiktif) sama sekali belum tersentuh, terutama pada tingkat pendidikan paling dasar (TK dan SD).
Akibatnya, kualitas pengetahuan yang diperoleh anak didik juga sangat memprihatinkan. Kemampuan kreatif dan kompetitifnya sangat kurang. Luaran pendidikan hanya berkutat pada symbol-simbol legal-formal belaka saja. Yang terkejar hanya kuantitasnya seraya meninggalkan kualitasnya. Model pembelajaran seperti inilah yang pernah dikritik tajam oleh DR. Ivan Illich dalam buku De-schooling Society-nya sebagai hanya melahirkan manusia-manusia yang tak banyak gunanya dalam meningkatkan kualitas masyarakat secara keseluruhan.
Kita di Indonesia tidak sulit memahami maksud Ivan Illich tersebut. Sebab untuk kesekian kalinya kita menjadi Negara terkorup di Asia dengan indeks kepala sembilan (sembilan koma sekian)—yang artinya korupsinya sudah mendekati sempurna. Padahal semua lini tentu diurusi oleh orang-orang yang pernah mengenyam dunia pendidikan. Bahkan, hebatnya lagi, departemen yang paling korup justru Departemen Agama dan Departemen Pendidikan.
Andaikata ketiga hokum bawaan tersebut dieksplorasi dan dieksploitasi dengan baik, niscaya Indonseia tidak sememalukan itu keadaannya. Karena eksplorasi dan eksplotasi ketiga hokum tersebut berdampak langsung pada tiga kecerdasan sekaligus. Prinsip sebab-akibat bermuara pada kecerdasar spiritual; prinsip matematis bermuara pada kecerdasan intelektual; dan prinsip nonkontradiktif bermuara pada kecerdasan emosional.

BAKAT
Setelah memahami hokum-hukum bawaan tadi, tindakan selanjutnya adalah memahami bakat anak-anak. Ini tentu juga bersifat bawaan. Bakat sendiri artinya potensi bawaan. Sejak masa paling dini, orang tua dan guru harus memperhatikan dengan saksama bakat yang melekat pada seorang anak. Ketahuilah, tidak anak yang lahir tanpa membawa bakatnya. Cuma memang ada bakat yang cepat dikenali, ada bakat yang terpendam dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengenalinya.
Bakat bisa dikatakan sebagai kombinasi antara potensi biologis dan potensi psikologis. Itu sebabnya orang akan lebih mudah berhasil mencapai puncak kesuksesan kalau bekerja sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Penjelasannya: orang yang bekerja sesuai bakatnya tidak akan menemukan hambatan psikologis dan biologis dalam melakoni aktivitasnya. Bahkan mereka akan merasa enjoy (senang) menggeluti bidang pekerjaannya, betapapun padatnya waktu pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Banyaknya sarjana yang tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya bisa diterangkan dengan pendekatan bakat ini. Yaitu bahwa ketika mereka memilih jurusan atau fakultas, mereka sama sekali tidak memperhatikan bakat yang dimilikinya. Mereka, biasanya, hanya termotivasi oleh gengsi dan popularitas jurusan tersebut. Itu karana, selama mereka belajar dari TK, SD, SLTP hingga SLTA—kurang lebih 14 (empatbelas) tahun—pendidikan yang digelutinya tidak berhasil mengenalkannya pada bakat mereka.

JENIS KEJIWAAN
Setelah bakat, pendidikan juga harus membantu peserta didik untuk mengenali dan mengakrabi jenis kejiwaannya. Secara psikologis, manusia dibagi ke dalam tiga jenis kejiwaan: ekstrovert (berorientasi keluar dan terbuka); introvert (berorientasi kedalam dan tertutup); dan ambivert (bersikap netral dan agak terbuka agak tertutup).
Orang yang ekstrovert biasanya cocok memilih profesi-profesi yang berhubungan dengan banyak orang, semisal pengacara, sales, PR (public relation), presenter, anggota legislative, dan semacamnya. Orang yang introvert umumnya tidak mengalami hambatan dalam menggeluti pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan perenungan, kontemplasi, kreativitas tinggi, atau hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah spiritual; umpamanya: agamawan, seniman, arsitek, ilmuwan, penulis, dan semacamnya.
Sementara orang yang ambivert bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang berada di antara keduanya, misalnya: dokter, pebisnis, tentara, polisi, birokrat, karyawan, dan semacamnya.
Seringnya seseorang merasa tidak puas dengan pekerjaan yang digelutinya bisa ditemukan akar masalahnya dari sini. Orang yang introvert lalu ditugaskan mempromosikan atau menjajakan sebuah produk, akan menemukan hambatan kejiwaan yang besar. Sebelum ‘berperang’ dengan calon konsumennya, terlebih dahulu harus berperang dengan dirinya sendiri. Begitu juga seseorang yang berjiwa ekstrovert lalu dipaksa bekerja di belakang meja secara rutin, sudah pasti akan merasakan siksaan yang amat berat. Kantor baginya bukanlah tempat yang menyenangkan, melainkan bisa terasa seperti neraka. Kalau toh dipaksakan, hasilnya tidak akan maksimal.

ANAKMU BUKAN ANAKMU
Kalau semuanya sudah berhasil diidentifikasi, tugas orang tua dan guru selanjutnya adalah mengkondisikan dan memfasilitasi tersalurkannya free will dan free choice seorang anak atau peserta didik.
Serahkan semuanya kepada anak-anak. Jangan bebani mereka dengan pilihan-pilihan yang didiktekan oleh guru atau orang tua. Termasuk pilihan yang didiktekan secara tersamar, misalnnya memperlihatkan raut muka tidak senang jika anak memilih pilihan yang bertentangan dengan pilihan guru atau orang tua. Sebab sikap seperti itu membebani mental si anak. Umumnya anak-anak tidak berani mengatakan ‘tidak’ kepada pilihan orang tua atau gurunya.
Agar ketegangan guru/orang tua versus anak tidak terjadi, camkanlah kata-kata Kahlil Ghibran berikut ini: anakmu bukanlah anakmu; kamu bisa memiliki fisiknya tapi kamu tidak bisa memiliki pikirannya.
Menurut Ghibran, guru dan orang tua tidak menuliskan apa dan warna apa pada ‘kertas kosong’ anak, melainkan mengkondisikan dan memfasilitasi anak untuk menuliskan penanya sendiri.***

 Oleh Muhammad Rusli Malik**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar